PENDAHULUAN
A.
Istilah,
Pengertian dan Sistem Hukum Acara Pidana
1) Istilah
Hukum Acara Pidana
Istilah
“Hukum Acara Pidana “ sudah tepat disbanding dengan istilah “Hukum Proses
Pidana” atau “Hukum Tuntutan Pidana”. Belanda memakai istilah Strafvordering yang jika diterjemahkan
menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah Strafprocesrecht
yang pidananya acara pidana. Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman
Belanda pada waktu rancangan Undang-Undang dibicarakan di Parlemen karena
meliputi seluruh prosedur acara pidana. Oleh karena itu menurut Prof. Dr. jur. Andi Hamzah istilah Inggris
Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda.[1]
Karena istilah Strafvordering sudah
lebih dikenal dimasyarakat, maka istilah tersebut yang masih dipakai.
Istilah
Strafvordering (Tututan Pidana)
memang dapat diartikan secara luas (meliputi proses pidana) dan dapat pula
diartikan sempit, yaitu hanya meliputi penuntutan saja. Dalam arti yang luas
disebut dalam bahasa latin Prosessus
Criminalis sedangkan dalam artinya yang sempit disebut Aclio Publica. [2]
Di
Perancis memakai istilah Code d’
Instruction Criminelle. Lain lagi istilah yang dipakai di Amerika Serikat
yaitu Criminal Procedure Rules. Dipakai
istilah “rules” karena di Amerika Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi
sumber formal Hukum Acara Pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan
sebagai himpunan.
Istilah
yang mulai popular di Indonesia yaitu Criminal
Justice System yang artinya Sistem Peradilan Pidana. Di Indonesia mulai
ramai dipakai istilah “Sistem Peradilan Pidana Terpadu” sebagai salinan dari
istilah Intergrated Criminal Justice
System.
2) Pengertian
Hukum Acara Pidana
Menurut
Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan hukum pidana, maka
dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,kejaksaan dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum
pidana.[3]
Secara umum Hukum Pidana
Formal atau Hukum Acara Pidana merupakan mengatur tentang bagaimana Negara
melaliu alat-alatnya melaksankan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.[4]
3) Sistem
Hukum Acara Pidana
a. Penyelidikan
dan Penyidikan Terhadap Suatu Tindak Pidana
1) Penyelidikan
Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tindakannya
dilakukan penyidikan menurut cara yang didiatur menurut Undang-Undang ini. (Pasal
1 Butir 5 KUHAP)
Penyelidikan dilakukan oleh
penyelidik atau pejabat polisi Negara RI yang diberi wewenag oleh
Undang-Undang.
Fungsi dan wewenang
penyelidik dalam Pasal 5 KUHAP :
1. Menerima
laporan atau pengadilan
2. Mencari
keterangan dan barang bukti
3. Menyuruh
berhenti orang yang dicurigai
4. Tindakan
lain menurut hokum yang bertanggung jawab
2) Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-umdang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengar, bukti itu membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. (Pasal 1
Butir 2 KUHAP)
Dalam proses penyidikan suatu
delik pidana dapat diketahui dari 4 macam kemungkinan, yaitu :
1. Tetangkap
tangan (Pasal 1 Butir 19 KUHAP)
2. Laporan
(Pasal 1 Butir 24 KUHAP)
3. Pengadilan
(Pasal 1 Butir 25 KUHAP)
4. Diketahui
sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui
terjadinya delik.
b. Penagkapan
dan Penahanan Terhadap Tersangka/Terdakwa
1) Penangkapan
Penagkapan adalah suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabla terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menuntut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 1 Butir 20 KUHAP)
Syarat untuk dapat
melakukan penagkapan diatur oleh Pasal 17 KUHAP “Perintah menangkapan dilakukan
terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidna berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.”
Sedangkan cara
penangkapan diatur didalam Pasal 18 KUHAP.
2) Penahanan
Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 Butir 21 KUHAP)
Hal yang terpenting
dalam proses penahanan adalah mengenai batas waktu penhanan dan siapa-siapa
pihak yang berwenang melakukan penahanan tersebut.
c. Penuntutan
dan Dakwaan
1) Penuntutan
Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus leh hakim disidang pengadilan.
(Pasal 1 Butir 7 KUHAP)
Menurut Andi Hamzah
bahwa jaksa penuntut umum adalah yang bertanggung jawab atas kebijakan
penuntutan, maka ia berhak juga untuk menetapkan peraturan pidana mana yang
akan didakwakan dan mana yang tidak.[5]
2) Dakwaan
Selanjutnya setelah
berkas penyidikan oleh jaksa penuntut umum dianggap telah cukup dan tidak perlu
ada penyempurnaan lagi kemudian jaksa penuntut umum akan membacakan surat
dakwaannya dimuka pengadilan terhadap tersangka yang kini statusnya berubah
menjadi terdakwa.
d. Putusan
Hakim dan Pelaksanaan Putusan Hakim/Eksekusi
1) Putusan
Hakim
Putusan hakim
dijatuhkan apabila majelis hakim memandang bahwa proses pemeriksaan telah
selesai maka majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut
mempersilahkan kepada jaksa penuntut umum untuk segera membacakan tuntutannya.
Selanjutnya setelah
giliran pihak terdakwa atau kuasa hukumnya yang menyampaikan pembelaannya yang
kemudian dapat dijawab oleh jaksa penuntut umum dengan ketentuan pihak terdakwa
atau kuasa hukumnya selain mendapat giliran terakhir.
2) Pelaksanaan
Putusan Hakim/Eksekusi
Dalam KUHAP disebutkan
jenis-jenis atau macam pidana, yaitu :[6]
a. Pidana
Pokok
Pidana mati, pidana
penjara, kurungan dan denda.
b. Pidana
Tambahan
-
Perampasan hak-hak tertentu
-
Perampasan barang-barang tertentu
-
Pengumuman putusan hakim
Menurut
pasal 220 KUHAP, institusi yang mempunyai wewenang menjalankan eksekusi putusan
dalam perkara pidana adalah jaksa. Setelah putusan pengadilan tersebut
dijalankan oleh jaksa tugas dari pengadilan yang memutus perkara tersebut masih
belum selesai sebab masih harus ada pengawasan dan penuntutan terhadap
pelaksanaan eksekusi yang merampas kemerdekaan seseorang dari pengadilan yang
memutus perkara tersebut.
e. Upaya
Hukum Terhadap Putusan Hakim
Upaya hokum adalah hak terdakwa
atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal seta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini. (Pasal 1 Butir 12 KUHAP)
KUHAP membedakan 2 upaya
hokum, yaitu :
1. Upaya
Hukum Biasa, meliputi
-
Perlawanan merupakan upaya hokum biasa
terhadap putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa atau kuasa
hukumnya.
-
Upaya Hukum Banding
-
Upaya Hukum Kasasi
2. Upaya
Hukm Luar Biasa
-
Kasasi demi kepentingan umum
-
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
B.
Tujuan,
Tempat, Azas, Sumber Formal Hukum Acara Pidana
1) Tujuan
Hukum Acara Pidana
Tujuan
acara pidana terdapat dalam KUHP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman ialah
sebagai berikut:
Untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaraan materiil. Ialah kebenaran yang
selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemerikasaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan.
Sedangakan menurut Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, tujuan hokum acara pidana mencari kebenaran
hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu
ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam
masyarakat.[7]
2) Tempat
Hukum Acara Pidana
Hukum
Pidana dalam arti luas terdiri dari Hukum Pidana (Substansif atau Materiil) dan
Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formal), jika dibagi dalam Hukum Publik atau
Hukum Privat maka Hukum Acara Pidana termasuk Hukum Publik. Yang menyebabkan
Hukum Acara Pidana tergolong dalam Hukum Publik karena yang bertindak dan
berwenang jika terjadi pelanggaran pidana ialah Negara (melalui alat-alatnya
atau lembaga Negara)
3) Azas-azas
yang Terdapat Dalam Hukum Acara Pidana
Azas-azas tersebut
diantaranya :
a. Peradilan
Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Pencantuman peradilan cepat
(contante justitie; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan
dengan istilah “segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
yang dianut didalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut.
Peradilan cepat (terutama
untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan
bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur dan tidak
memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
b. Praduga
Tak bersalah (Presumption of innocence).
Diatur dalam undang-undang
Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman dan
juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP berbunyi:
“setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka siding pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Asas Opportunitas
Yaitu asas hukum yang
memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum
terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan
penimbangan bahwa lebih menguntungkan kepeingan umum jikalau tidak diadakan
penuntutan. [8]
Dalam pengertian hukum
pidana, Opportunitas adalah pengenyampingan perkara (deponering).[9]
Jadi menurut asas
opportunitas penuntut umum diwenagkan membiarkan suatu peristiwa pidana dan
tidak mengadakan penuntutan, apabila olehnya tertimbang kebijaksanaan dan
kepentingan umum untuk tidak menjadikan perkara.[10]
Diatur dalam pasal 32C UU
No.5 tahun 1991 yang berbunyi.
“jaksa Agung dapat
menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum (deponering)”.
d. Pemerikasaan
pengadilan terbuka untuk umum
Disini ditegaskan bahwa hanya
Pemerikasaan pengadilan yang terbuka untuk umum jadi pemerikasaan pendahuluan, penyidikan dan
praperadilan tidak terbuka untuk umum. Dengan merujuk kepada Pasal 153 ayat 3
dan 4 KUHAP
“untuk keperluan pemerikasaan
hakim ketua sidang membuka sidang dengan menyatakan terbuka untuk umum kecuali
dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak” ayat 3.
“jaminan yang diatur dalam
ayat 3 diatas dikuat berlakunya, terbukti dengan akibat hukum jika asas
peradilan tersebut tidsk dipenuhi”.
Adapula pengecualian untuk
militer dan hal yang menyangkut ketertiban umum dalam hal ini keputusan terbuka
atau tertutup diserahkan kepada hakim, penuntut umum dan terdakwa.
e. Semua
orang diperlakukan sama di depan hakim
Asas ini diatur dalam UU
pokok kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat 1 dan KUHAP dalam penjelasan umum butir
3a pasal 5 ayat 1 yang berbunyi:
“pengadilam mengadili menurut
hukum dan tidak membeda-bedakan”.
f. Peradilan
dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap
Jadi yang memutuskan bersalah
atau tidaknya diputuskan oleh hakim yang karena jabatannya dan tetap artinya
yang menjadi hakim ialah yang telah ditunjuk oleh kepala Negara.
g. Tersangka
atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum
Diatur dalam pasal 69-74
KUHAP yaitu tentang bantuan hukum yaitu:
“tersangka/terdakwa mendapat
kebebasan-kebebasan yang sangat luas , kebebasan-kebebasan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Bantuan
hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan.
2. Bantuan
hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Penasihat
hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada
setiap waktu.
4. Pembicaraan
antara penasihat hukum dengan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan
penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara.
5. Turunan
berita acara diberikan kepada tersangka atau penashat hukum guna kepentingan
pembelaan.
6. Penasihat
hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.
h. Asas akusator
dan inkisitor
Asas akusator yaitu kebebasan
untuk memberi dan mendapatkan nasihat
Asas inkisitor bahwa
pengakuan tersangka merupakan bukti terpenting, namun karena cara mendapat
pengakuan ini banyak digunakan cara kekerasaan sehingga mulai dihilangkan oleh
bangsa beradab hingga akhirnya digunakan barang bukti.
i.
Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan
Pemeriksaan di siding
pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada
terdakwa dan para saksi. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya
bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.
4) Sumber-sumber
Hukum Formal Dalam Hukum Acara Pidana
a.
UUD 1945
·
Pasal 24 dan pasal 25
·
Penjelasan pasal 24 dan pasal 25
·
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
b.
Undang-Undang
·
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU NO.8
Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76)
·
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004, LN 2004
Nomor 67 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
·
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986, LN 1986 Nomor
20 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang
perubahan UU No. 2 tahun 1986.
·
Undang undang kekuasaan kehakiman UU no 48
tahun 2009.
C.
Ilmu-ilmu
Pembantu Hukum Acara Pidana
Untuk mencapai tujuan Hukum Acara Pidana perlu
juga para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan penasihat hukum
mempunyai bekal pengetahuan lain yang dapat membantu dalam menentukan kebenaran
meteriil. Ilmu-ilmu tersebut yaitu :
1)
Logika
Dalam usaha menemukan
kebenaran, orang tentu memakai pikiran dalam menghubungkan keterangan yang satu
dengan yang lain. Bagian dari hokum acara pidana yang paling membutuhkan
pemakaian logika ialah masalah pembuktian dan metode penyidikan. Pada usaha
menemukan kebenaran itu biasanya dipergunakan hipotesis atau dugaan sementara
dengan ditemukan fakta-fakta yang ada dan hal tersebut akan sangat membutuhkan
logika yang baik.
2)
Psikologi
Dalam hal ini hakim, jaksa
dan terdakwa juga manusia yang mempunyai perasaan yang dapat diusahakan untuk
dimengerti tingkah lakunya. Demikian pula dalam pemeriksaan pendahuluan
terutama dalam interogasi terhadap tersangka, penyidik seharusnya menguasai dan
dapat menerapkan pengetahuan tentang ilmu psikologi. Segala usaha untuk
mengungkapkan isi hati tersangka harus dilakukan dengan cara pendekatan secara
psikologis terutama untuk para penjahat professional dan residivis. Maka dari
itu ilmu psikologi sangatlah membantu.
3)
Kriminalistik
Kriminalistik merupakan
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data secara sistematis yang berhubungan
dengan penyidikan delik-delik. Dalam hal ini ilmu kriminalistik digunakan untuk
menilai fakta-fakta yang ditemukan yang oleh hokum harus dapat dikonstruksikan
sebelum dijatuhkan putusan. Bagian-bagian ilmu kriminalistik yang dipakai ialah
ilmu tulisan, ilmu kimia, ilmu fisiologi, anatomi, tentang luka, sidik jari,
jejak kaki, dsb.
4)
Psikiatri
Psikiatri digunakan untuk
meneliti hal-hal yang abnormal atau tidak biasa dalam hokum. Psikiatri juga
digunakan sebagai pembantu hokum acara pidana yang biasa disebut psikiatri
peradilan atau psikiatri forensic.
5)
Kriminologi
Ilmu ini digunakan untuk mengetahui sebab-sebab
atau latar belakang dari suatu kejadian atau tindak kejahatan.
D.
Sejarah
Hukum Acara Pidana
1) Hukum
Acara Pidana Sebelum Zaman Kolonial
Pada waktu penjajah belanda pertama kali
menginjakkan kakinya di bumi Nusantara, negeri ini tidaklah gersang dari
lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum yang lahir
dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada masyarakat primitif pertumbuhan
hukum dipisahkan dalam hukum privat dan hukum public dalam dunia modern. Hukum
acara perdata tidak terpisah dari hukum acara pidana, tuntutan perdata dan
pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya. Pada masyarakat
primitive tidak terdapat lembaga seperti jaksa dan penuntut umum.
Supomo menujukan bahwa pandangan rakyat
Indonesia merupakan suatu totalitas. Alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan.
Suatu bagian dirusak atau tidak seimbang, maka yang lain turut merasakan.
Segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran
hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana
mengembalikan keseimbangan yang tergnggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran
sejumlah uang yang sama dengan pelunasan hutang atau ganti kerugian.
Hazairin menulis bahwa pada masyarakat
tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara.hukum pembuktian pada masyarakat
Indonesia sering di gantungkan pada kekuasan tuhan.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu)
dihimpun dalam pandecten van het adatrecht bagian X yang disebut juga dalam
buku supomo tersebut ialah sebagai berikut :
1. Pengganti
kerugian “immaterial” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan.
2. Bayaran
“uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan
(korban) untuk membersihkan masyarakat adari segala kotoran gaib.
4. Penutup
malu permintaan maaf.
5. Pelbagai
rupa hukuman badan hinggahukuman mati.
6. Pengasingan
dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.
2) Hukum
Acara Pidana (Asas Konfordasi)
Yang sekarang berlaku tidak dapat
dilepaskan dari sejarah masa lampau. KUHAP yang dipandang produk nasional,
bahkan ada orang yang menyebutnya suatu karya agung merupakan penerusan pula
asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned Starfvordering 1926
yang lebih modern.
Pada bab I dikemukakan asas-asas
hukung acara pidana yang terdapat dalam
KUHAP yang selurunya terdapat pula pada Ned. Sv. Tersebut. Misalnya system juri
yang ada pada system anglo amerika, tetapi tidak oleh ned. Sv. Juga demikian
Dengan KUHAP.
Dalam usaha menengok masa lampau kita
terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang-undanngan di negeri
belanda pada tahun 1838, pada waktu masa mereka baru saja terlepas dari
penjajahan prancis.
VOC pada tahun 1747 telah mengatur
organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang
Javasche Weyyen (undang-undang jawa) hal itu diteruskan pula oleh dean deles
dan Raffles untk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya.
Sebelum berlakunya perundangang-undangan
baru di negeri belana, tahun 1836 Scholten van Oud-haarlem telah menyatakan
kesediaannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di hindia belanda ia
diangkat oleh Gubernur Jenderal De Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan
perundang-undangan baru itu di hindia belanda. Namun oleh karena Scholten van
Oud-haarlem tahun 1838 ia sakit dan kembali ke Negeri belanda, tahun 1839
dibentuk lagi panitia baru oleh mentri jajahan van den Bosch yang terdiri dari
Mr. scholten, Mr.Schneither, dan bekas residen JFW van nes.
Hasil karyanya ialah sebuah rancangan
peraturan tata peradilan, sebuah rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, panitia ini di burbarkan atas permintaan
mereka sendiri tahun 1845.
Peraturan-peraturan hukum yang dibuat
untuk Hindia-Belanda, yaitu sebagai berikut.
Ketentuan
umum tentang perundang-undangan (AB).
Peraturan tentang susunan pengadilan dan
kebijaksanaan pengadilan (RO).
Kitan Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK).
Ketentuan-ketentuan
tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jayuh pailit dan terbukti
tidak mampu, begitu pula dikala diadakan penangguhan pembayaran utang (pasal
Peraturan cara perdata untuk
(Hooggerechtshop dan Red van justitie).
Peraturan tata usaha Kepolisian, beserta
pengadilan sipil dan penuntutan tata usaha Kepolisian, beserta pengadilan sipil
dan penuntutan perkara criminal mengenai golongan bumi putera dan orang-orang
yang dipersamakan (pasal 4).
Yang tersebut belakangan ini yang
disebut reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke
rechtspleging en de starfvordering onders de inlanders en de Oosterlingen of
java en Mdoera.
3) Inlands
Reglement Kemudian Herziene Inlands Reglement
Sesuai dengan kalimat terakhir pasal 4
firman raja tersebut reglemen yang di tetapkan oleh gubernur jendral tanggal 3
Desember 1847 itu memerluka pengesahan raja. Reglemn tersebut berisi acara
perdata dan acara pidana.
Menurut supomo, Mr. Wichers ini
penganjur politik pendesakan hukum adat secara sistematis serta
berangsur-angsur oleh huku eropa. Akan tetapi, gubernur jendral tidak
menyetujuinya ia berpendapan bahwa perombakan masyarakat jawa berbahaya dan
tidak politis selama belum dapat di bentuk masyarakan lain yang tetap sentosa
sebagai penggantinya dan yang terakhir ini tidak dapat dikira-kirakan selama
orang bumiputera itu tetap beragama islam dan bukan Kristen.
Reglemen tersebut disahkan oleh gubernur
jendral,dan diumumkan pada tanggal 5 April 1848, Sbld nomor 16, dan dikuatkan
dengan firman raja tanggal 29 September 1849 nomor 93, diumumkan dalam Sbld
1849 nomor 63. Reglemen tersebut beberapa kali diubah dan diumumkan dengan Sbld
1926 nomor 559 jo.496. sesudah tahun 1926 masih diadakan perubahan, yang
terpenting ialah yang diumukan dengan Sbld 1941 nomor 32 jo.98.
Akhirnya dengan Sbld 1941 nomor 44
diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang
terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu di bentuk
lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum,yang dahulu di tempatkan dibawah
pamongpraja, pembentukan badan penuntut umum menurut Subekti, adalah hadiah
dari pemerintah belanda untuk orang bumiputera berhubung dengan keguncangan
(perang dunia II yang baru pecah) di negeri belanda. Seperti perang dunia I
pemerintah belanda memberikan kodifikasi dan unifikasi KUHP (WvS 1918).
Walaupun dikatakan bahwa telah di bentuk
badan penuntu umum yang berdiri sendiri dalam praktiknya, IR masih berlaku di
samping HIR di Jawa dan Madura. IR (HIR) sebagai percobaan di Jawa dan Madura
direncanakan diberlakukan juga diluar Jawa dan Madura. Untuk bagian-bagian
Irian Selatan dan di Gul atas peraturan acara Sbld 1908 noor 234 mulai berlaku
pada tanggal 10 Maret 1908.
Untuk golongan eropa berlaku Reglement
op de Strafvordering dan Reglement op the Burgerlijke rechtsvordering (Reglemen
Hukum Acara Pidana dan ReglemenHukum Acara Perdata).
Untuk golongan bumiputeramasih ada
Landgerechtsreglement Sbld 1941 nomor 137 sebagai hukum acara untuk pengadilan
semua golongan penduduk yang memutus perkara perkara kecil. Selain itu ada
pengadilan seperti districtsgrecht, regentschapsgerecht, dan luar jawa dan
Madura terdapat magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten
yang memutus perkara perdata kecil.
pengadilan yang tertinggi. Meliputi seluruh
hindia belanda, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya di sebut arrest.
Tugasnya diatur dalam pasal 158 indische Staatsregeling dan RO.
4) Hukum
Acara Pidana Zaman Pendudukan Jepang
Pada zaman pendudukan jepang, pada umumnya
tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai
pengadilan untuk golongan Eropa Dengan undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1
Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 maret 1942, dkeluarkan aturan
peralihan di jawa dan Madura.begitu pula diluar jawa dan maduran dikeluarkan
pula peraturan yang senada.
Dengan demikian acara pidana pada umunya
tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechts
reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan Tinggi
(Kootoo Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini
diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
Pada tiap acam pengadilan itu ada
kejaksaan, yaitu Saiko Kenskatsu Kyoku pada pengadilan Agung, Kootoo Kenskatsu
Kyoku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kenskatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.
Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal
7 agustus 1945, keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II aturan peralihan
UUD 1945 yang berlaku tanggal 18 agustus 1945, aturan peraliha tersebut juga
diperkuat dengan peraturan presiden tanggal 10 oktober 1945 yang disebit
peraturan nomor 2.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa hukum
acara pidana susunan pengadilan pada masa pendudukan jepang masih tetap
berkelanjutan pada masa republic, kecualintentu karena keadaan memaksa maka
dibentuk Mahkamah Agung di Yogyatakarta seta pemindahan Pengadilan Tinggi di
Sumatera dan Jawa.
Setelah dibentuk Negara-negara bagian,
maka Negara-negara bagian itu memebentuk pengadilansendiri-sendiri. Di Negara
Indonesia timur, di Negara Pasundan, dan Negara Sumatra Timur dibentuk
Pengadilan Negara sebagai hakim sehari-hari untuk segala golongan penduduk.
Kemudian, suatu pengadilan Tinggi di Pasundan, Mahkamah Yutisi di Makasar, dan
Mahkamah Negara di Sumatra Timur yang rupanya tidak pernah lahir itu.
Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan
undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di
Jakarta menggantikan Hooggerechtshof di jakrta dan Mahkamah Agung di Yogyakarta
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 27, Landrechter (gaya
baru) di Jakarta diganti menjadi Pengadilan Negeri, dan appelraad di Jakarta
diubah menjadi Pengadilan Tinggi.
5) Hukum
Acara Pidana Menurut UU No. 1 Tahun 1951
Dengan undang-undang tersebut dapat
dikatakan telah diadakan univikasi hukum acara pidana dan susunan pengadilan
yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut pasal 1 undang-undang tersebut
dihapus,yaitu sebagai berikut.
1. Mahkamah
yustisi di Makassar alat penuntut umum padanya.
2. Appelraad
di Makassar.
3. Appelraad
di Medan.
4. Segala
pengadilan Negara dan segala landgrecht (cara baru) dan alat penuntut umum
padanya.
5. Segala
pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya.
6. Segala
pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
7. Segala
pengdilan kabupaten.
8. Segala
raad distrik.
9. Segala
pengadilan negorij.
10. Pengadilan
swapraja.
11. Pengadilan
adat.
Namun demikian, hakim perdamain desa
yang berdasar atas pasal 3a RO itu aish diakui. Haki perdamaian desa ini juga
dihapuskan oleh Undang-undang no 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kehakiman karena KUHAP menghapus
HIR dan undang-undang No 1 (drt) 1951 tersebut dimana diacntumkan hak hidup
hakim perdamaian desa tersebut, maka yang menjadi masalah apakah dengan
berlakunya KUHAP hakim perdamaian desa itu masih diperkenankan.
Dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan :
“hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
meahami nilai-nilai yang hidup dalam mayarakat. Dalam hal ini haki erdamain
desa itu justru menjadi slaah satu sumber hukum data yang dapat digali. Dalam
pasal 3A RO pada butir 3 dikatakan bahwa hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat
(1) mengadili perkara menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhkan
pidana.
Kemudian, dalam pasal 6 undang-undang
nomor 1 (drt) Tahun 1951 ditetapkan bahwa acara pidana sipil untuk segala
pengadilan negeri dalam alat penuntut umum padanya, segala pengadilan tinggi
seberapa mungkin HIR diambil sebagai pedoman.
Sedangkan acara perkara ringan (roh)
berlaku landsgerechts reglement Sbld 1914 Nomor 317 jo. Sbld 1917 Nomor 323.
Acara untuk banding diatur dalam pasal 7 sampai pasal 20 Undang-undang
(darurat) tersebut.
6) Lahirnya
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Selaku undang-undang hukum acara pidana
nasional yang modern sudah lama didambakan semua orang. Dikehendaki suatu hukum
acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang selaras dengan
pancasila.
Sebagaimana dikemukakan diatas
pembentukan IR kemudian menjadi HIR itu tidak terlepas pula dari pada usaha
belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari kekuasaan perancis.
IR yang lahir pada tanggal 1 Mei 1848 itu merupakan penerusan dari paket
perundang-undangan belanda tahun 1838. Berdasarkan asas konkordansi, maka paket
perundang-undangan baru itu hendak diberlakukan pula di Indonesia.
Demikianlah, sehingga sejak Oemar Seno
Adji menjabat mentri kehakiman, telah dirintis jalan menuju kepada terciptanya
perundang-undangan baru tentang hukum acara pidana. Pada waktu itu dibentuk
suatu panitia di departemen kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana
undang-undang hukum acara pidana. Panitia tersebut berhasil menyusun Rencana
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada thun 1974, dilakukan penyempurnaan dan
rencana tersebut dilimpahkan kepada Sekertariat Negara yang kemudian dibahas
oleh 4 instansi.Dalam rangka penyempurnaan rancangan ini, telah didengar pula
beberapa pendapat ahli-ahli hukum.
Akhirnya Rancangan Undang-Undang Hukum
Acara Pidana itu disampaikan kepada DPR untuk di bahas dengan amanat presiden
pada tanggal 12 September 1979 nomor R.08/P.U/IX/1979. Badan musyawarah DPR
memutuskan bahwa pembicaraan selanjutnya rangcangan itu dilanjutkan oleh
Gabungan Komisi III dan Komisi I DPR. Rupanya pembahasan tersebut yang
disimpulkan dalam 13 pokok masalah yang telah disepakati bersama untuk
ditungkan dalam materi undang-undang.
Yang terakhir menjadi masalah dalam
pembicaraan Tim Sinkronisasi dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan
yang kemudian di kenal dengan pasal 284. Pasal 284 ayat (2) menjanjikan bahwa
dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap hukum acara
pidana khusus.
Akan tetapi, kenyataannya setelah 19
tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda-tanda adanya usaha untuk meninjau
kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP nomor 27 tahun 1983 telah
ditegaskan oleh pemerintah bahwa penyidikan detik-detik dalam
perundang-undangan pidana khusus tersebut dilakukan oleh berikut ini.
a. Penyidik
b. Jaksa
c. Pejabat
Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan
perundang-undangan (pasal 17 PP Nomor 27
Tahun 1983)
Rancangan undang-undang Hukum Acara
Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR pada tangggal 23 september 1981
kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981
dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209).
[1]
Andi Hamzah.Hukum Acara Pidana Indonesia.
hlm. 2.
[2] G.
Duisterwinkel en. A.L. Melai ed. Het
Weitboek van Strafvordering. Hlm. 4.
[3]
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana
di Indonesia. hlm. 13.
[4] D.
Simons, Beknople iot het Weitboek van
Strafvordering, hlm. 1.
[5]
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana
Indonesia. hlm. 160
[6] Kitab Undang-Undang Pidana. Diterjemahkan
oleh Muljatno. Cet. 22. (Jakarta:Bumi Aksara, 2003). Psl. 11.
[7]
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana
Indonesia. hlm. 9
[8] A.
Zainal Abidin. Sejarah Perkembangan
Masalah Oppertunitas di Indonesia. Prasarana Seminar Ujung Pandang, 1981.
Hlm. 12.
[9] Andi
Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan
Acara Pidana. Hlm. 151.
[10]
Tresna. Peradilan di Indonesia. Cet.
3. (Jakarta Pradnya Paramita,1978) hlm. 156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar