Sabtu, 03 Maret 2012

Pengertian dan sistem Hukum Acara Pidana


PENDAHULUAN
        A.    Istilah, Pengertian dan Sistem Hukum Acara Pidana

1)      Istilah Hukum Acara Pidana
Istilah “Hukum Acara Pidana “ sudah tepat disbanding dengan istilah “Hukum Proses Pidana” atau “Hukum Tuntutan Pidana”. Belanda memakai istilah Strafvordering yang jika diterjemahkan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah Strafprocesrecht yang pidananya acara pidana. Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan Undang-Undang dibicarakan di Parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana. Oleh karena itu menurut Prof. Dr. jur. Andi Hamzah istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda.[1] Karena istilah Strafvordering sudah lebih dikenal dimasyarakat, maka istilah tersebut yang masih dipakai.
Istilah Strafvordering (Tututan Pidana) memang dapat diartikan secara luas (meliputi proses pidana) dan dapat pula diartikan sempit, yaitu hanya meliputi penuntutan saja. Dalam arti yang luas disebut dalam bahasa latin Prosessus Criminalis sedangkan dalam artinya yang sempit disebut Aclio Publica. [2]
Di Perancis memakai istilah Code d’ Instruction Criminelle. Lain lagi istilah yang dipakai di Amerika Serikat yaitu Criminal Procedure Rules. Dipakai istilah “rules” karena di Amerika Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi sumber formal Hukum Acara Pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan.
Istilah yang mulai popular di Indonesia yaitu Criminal Justice System yang artinya Sistem Peradilan Pidana. Di Indonesia mulai ramai dipakai istilah “Sistem Peradilan Pidana Terpadu” sebagai salinan dari istilah Intergrated Criminal Justice System.


2)      Pengertian Hukum Acara Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.[3]
Secara umum Hukum Pidana Formal atau Hukum Acara Pidana merupakan mengatur tentang bagaimana Negara melaliu alat-alatnya melaksankan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.[4]

3)      Sistem Hukum Acara Pidana
a.       Penyelidikan dan Penyidikan Terhadap Suatu Tindak Pidana
1)      Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidikan menurut cara yang didiatur menurut Undang-Undang ini. (Pasal 1 Butir 5 KUHAP)
Penyelidikan dilakukan oleh penyelidik atau pejabat polisi Negara RI yang diberi wewenag oleh Undang-Undang.
Fungsi dan wewenang penyelidik dalam Pasal 5 KUHAP :
1.      Menerima laporan atau pengadilan
2.      Mencari keterangan dan barang bukti
3.      Menyuruh berhenti orang yang dicurigai
4.      Tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab
2)      Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-umdang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengar, bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. (Pasal 1 Butir 2 KUHAP)
Dalam proses penyidikan suatu delik pidana dapat diketahui dari 4 macam kemungkinan, yaitu :
1.      Tetangkap tangan (Pasal 1 Butir 19 KUHAP)
2.      Laporan (Pasal 1 Butir 24 KUHAP)
3.      Pengadilan (Pasal 1 Butir 25 KUHAP)
4.      Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik.
b.      Penagkapan dan Penahanan Terhadap Tersangka/Terdakwa
1)      Penangkapan
Penagkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabla terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 Butir 20 KUHAP)
Syarat untuk dapat melakukan penagkapan diatur oleh Pasal 17 KUHAP “Perintah menangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidna berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Sedangkan cara penangkapan diatur didalam Pasal 18 KUHAP.
2)      Penahanan
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 Butir 21 KUHAP)
Hal yang terpenting dalam proses penahanan adalah mengenai batas waktu penhanan dan siapa-siapa pihak yang berwenang melakukan penahanan tersebut.
c.       Penuntutan dan Dakwaan
1)      Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus leh hakim disidang pengadilan. (Pasal 1 Butir 7 KUHAP)
Menurut Andi Hamzah bahwa jaksa penuntut umum adalah yang bertanggung jawab atas kebijakan penuntutan, maka ia berhak juga untuk menetapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan dan mana yang tidak.[5]
2)      Dakwaan
Selanjutnya setelah berkas penyidikan oleh jaksa penuntut umum dianggap telah cukup dan tidak perlu ada penyempurnaan lagi kemudian jaksa penuntut umum akan membacakan surat dakwaannya dimuka pengadilan terhadap tersangka yang kini statusnya berubah menjadi terdakwa.
d.      Putusan Hakim dan Pelaksanaan Putusan Hakim/Eksekusi
1)      Putusan Hakim
Putusan hakim dijatuhkan apabila majelis hakim memandang bahwa proses pemeriksaan telah selesai maka majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut mempersilahkan kepada jaksa penuntut umum untuk segera membacakan tuntutannya.
Selanjutnya setelah giliran pihak terdakwa atau kuasa hukumnya yang menyampaikan pembelaannya yang kemudian dapat dijawab oleh jaksa penuntut umum dengan ketentuan pihak terdakwa atau kuasa hukumnya selain mendapat giliran terakhir.
2)      Pelaksanaan Putusan Hakim/Eksekusi
Dalam KUHAP disebutkan jenis-jenis atau macam pidana, yaitu :[6]
a.       Pidana Pokok
Pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda.
b.      Pidana Tambahan
-          Perampasan hak-hak tertentu
-          Perampasan barang-barang tertentu
-          Pengumuman putusan hakim
Menurut pasal 220 KUHAP, institusi yang mempunyai wewenang menjalankan eksekusi putusan dalam perkara pidana adalah jaksa. Setelah putusan pengadilan tersebut dijalankan oleh jaksa tugas dari pengadilan yang memutus perkara tersebut masih belum selesai sebab masih harus ada pengawasan dan penuntutan terhadap pelaksanaan eksekusi yang merampas kemerdekaan seseorang dari pengadilan yang memutus perkara tersebut.
e.       Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim
Upaya hokum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal seta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 Butir 12 KUHAP)
                        KUHAP membedakan 2 upaya hokum, yaitu :
1.      Upaya Hukum Biasa, meliputi
-          Perlawanan merupakan upaya hokum biasa terhadap putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa atau kuasa hukumnya.
-          Upaya Hukum Banding
-          Upaya Hukum Kasasi
2.      Upaya Hukm Luar Biasa
-          Kasasi demi kepentingan umum
-          Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.

B.     Tujuan, Tempat, Azas, Sumber Formal Hukum Acara Pidana

1)      Tujuan Hukum Acara Pidana
Tujuan acara pidana terdapat dalam KUHP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman ialah sebagai berikut:
Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaraan materiil. Ialah kebenaran yang selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemerikasaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
      Sedangakan menurut Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, tujuan hokum acara pidana mencari kebenaran hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.[7]

2)      Tempat Hukum Acara Pidana
Hukum Pidana dalam arti luas terdiri dari Hukum Pidana (Substansif atau Materiil) dan Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formal), jika dibagi dalam Hukum Publik atau Hukum Privat maka Hukum Acara Pidana termasuk Hukum Publik. Yang menyebabkan Hukum Acara Pidana tergolong dalam Hukum Publik karena yang bertindak dan berwenang jika terjadi pelanggaran pidana ialah Negara (melalui alat-alatnya atau lembaga Negara)

3)      Azas-azas yang Terdapat Dalam Hukum Acara Pidana
Azas-azas tersebut diantaranya :
a.       Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut didalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut.
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
b.      Praduga Tak bersalah (Presumption of innocence).
Diatur dalam undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP berbunyi:
“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

c.       Asas Opportunitas
Yaitu asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan penimbangan bahwa lebih menguntungkan kepeingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan. [8]
Dalam pengertian hukum pidana, Opportunitas adalah pengenyampingan perkara (deponering).[9]
Jadi menurut asas opportunitas penuntut umum diwenagkan membiarkan suatu peristiwa pidana dan tidak mengadakan penuntutan, apabila olehnya tertimbang kebijaksanaan dan kepentingan umum untuk tidak menjadikan perkara.[10]
Diatur dalam pasal 32C UU No.5 tahun 1991 yang berbunyi.
“jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum (deponering)”.
d.      Pemerikasaan pengadilan terbuka untuk umum
Disini ditegaskan bahwa hanya Pemerikasaan pengadilan yang terbuka untuk umum jadi  pemerikasaan pendahuluan, penyidikan dan praperadilan tidak terbuka untuk umum. Dengan merujuk kepada Pasal 153 ayat 3 dan 4 KUHAP
“untuk keperluan pemerikasaan hakim ketua sidang membuka sidang dengan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak” ayat 3.
“jaminan yang diatur dalam ayat 3 diatas dikuat berlakunya, terbukti dengan akibat hukum jika asas peradilan tersebut tidsk dipenuhi”.
Adapula pengecualian untuk militer dan hal yang menyangkut ketertiban umum dalam hal ini keputusan terbuka atau tertutup diserahkan kepada hakim, penuntut umum dan terdakwa.
e.       Semua orang diperlakukan sama di depan hakim
Asas ini diatur dalam UU pokok kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat 1 dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a pasal 5 ayat 1 yang berbunyi:
“pengadilam mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan”.
f.       Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap
Jadi yang memutuskan bersalah atau tidaknya diputuskan oleh hakim yang karena jabatannya dan tetap artinya yang menjadi hakim ialah yang telah ditunjuk oleh kepala Negara.
g.      Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum
Diatur dalam pasal 69-74 KUHAP yaitu tentang bantuan hukum yaitu:
“tersangka/terdakwa mendapat kebebasan-kebebasan yang sangat luas , kebebasan-kebebasan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan.
2.      Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3.      Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
4.      Pembicaraan antara penasihat hukum dengan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara.
5.      Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penashat hukum guna kepentingan pembelaan.
6.      Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.
h.      Asas akusator dan inkisitor
Asas akusator yaitu kebebasan untuk memberi  dan mendapatkan nasihat
Asas inkisitor bahwa pengakuan tersangka merupakan bukti terpenting, namun karena cara mendapat pengakuan ini banyak digunakan cara kekerasaan sehingga mulai dihilangkan oleh bangsa beradab hingga akhirnya digunakan barang bukti.
i.        Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan
Pemeriksaan di siding pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.

4)      Sumber-sumber Hukum Formal Dalam Hukum Acara Pidana

a.      UUD 1945
·         Pasal 24 dan pasal 25
·         Penjelasan pasal 24 dan pasal 25
·         Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
b.      Undang-Undang
·         Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU NO.8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76)
·         Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004, LN 2004 Nomor 67 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
·         Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986, LN 1986 Nomor 20 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan UU No. 2 tahun 1986.
·         Undang undang kekuasaan kehakiman UU no 48 tahun 2009.


C.    Ilmu-ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana
Untuk mencapai tujuan Hukum Acara Pidana perlu juga para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan penasihat hukum mempunyai bekal pengetahuan lain yang dapat membantu dalam menentukan kebenaran meteriil. Ilmu-ilmu tersebut yaitu :
1)      Logika
Dalam usaha menemukan kebenaran, orang tentu memakai pikiran dalam menghubungkan keterangan yang satu dengan yang lain. Bagian dari hokum acara pidana yang paling membutuhkan pemakaian logika ialah masalah pembuktian dan metode penyidikan. Pada usaha menemukan kebenaran itu biasanya dipergunakan hipotesis atau dugaan sementara dengan ditemukan fakta-fakta yang ada dan hal tersebut akan sangat membutuhkan logika yang baik.

2)      Psikologi
Dalam hal ini hakim, jaksa dan terdakwa juga manusia yang mempunyai perasaan yang dapat diusahakan untuk dimengerti tingkah lakunya. Demikian pula dalam pemeriksaan pendahuluan terutama dalam interogasi terhadap tersangka, penyidik seharusnya menguasai dan dapat menerapkan pengetahuan tentang ilmu psikologi. Segala usaha untuk mengungkapkan isi hati tersangka harus dilakukan dengan cara pendekatan secara psikologis terutama untuk para penjahat professional dan residivis. Maka dari itu ilmu psikologi sangatlah membantu.
3)      Kriminalistik
Kriminalistik merupakan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data secara sistematis yang berhubungan dengan penyidikan delik-delik. Dalam hal ini ilmu kriminalistik digunakan untuk menilai fakta-fakta yang ditemukan yang oleh hokum harus dapat dikonstruksikan sebelum dijatuhkan putusan. Bagian-bagian ilmu kriminalistik yang dipakai ialah ilmu tulisan, ilmu kimia, ilmu fisiologi, anatomi, tentang luka, sidik jari, jejak kaki, dsb.
4)      Psikiatri
Psikiatri digunakan untuk meneliti hal-hal yang abnormal atau tidak biasa dalam hokum. Psikiatri juga digunakan sebagai pembantu hokum acara pidana yang biasa disebut psikiatri peradilan atau psikiatri forensic.
5)      Kriminologi
Ilmu ini digunakan untuk mengetahui sebab-sebab atau latar belakang dari suatu kejadian atau tindak kejahatan.

D.    Sejarah Hukum Acara Pidana

1)      Hukum Acara Pidana Sebelum Zaman Kolonial
Pada waktu penjajah belanda pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Nusantara, negeri ini tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum dipisahkan dalam hukum privat dan hukum public dalam dunia modern. Hukum acara perdata tidak terpisah dari hukum acara pidana, tuntutan perdata dan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya. Pada masyarakat primitive tidak terdapat lembaga seperti jaksa dan penuntut umum.
Supomo menujukan bahwa pandangan rakyat Indonesia merupakan suatu totalitas. Alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan. Suatu bagian dirusak atau tidak seimbang, maka yang lain turut merasakan. Segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang tergnggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran sejumlah uang yang sama dengan pelunasan hutang atau ganti kerugian.
Hazairin menulis bahwa pada masyarakat tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara.hukum pembuktian pada masyarakat Indonesia sering di gantungkan pada kekuasan tuhan.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam pandecten van het adatrecht bagian X yang disebut juga dalam buku supomo tersebut ialah sebagai berikut :
1.      Pengganti kerugian “immaterial” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.
2.      Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
3.      Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat adari segala kotoran gaib.
4.      Penutup malu permintaan maaf.
5.      Pelbagai rupa hukuman badan hinggahukuman mati.
6.      Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.

2)      Hukum Acara Pidana (Asas Konfordasi)
Yang sekarang berlaku tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lampau. KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada orang yang menyebutnya suatu karya agung merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned Starfvordering 1926 yang lebih modern.
Pada bab I dikemukakan asas-asas hukung  acara pidana yang terdapat dalam KUHAP yang selurunya terdapat pula pada Ned. Sv. Tersebut. Misalnya system juri yang ada pada system anglo amerika, tetapi tidak oleh ned. Sv. Juga demikian Dengan KUHAP.
Dalam usaha menengok masa lampau kita terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang-undanngan di negeri belanda pada tahun 1838, pada waktu masa mereka baru saja terlepas dari penjajahan prancis.
VOC pada tahun 1747 telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang Javasche Weyyen (undang-undang jawa) hal itu diteruskan pula oleh dean deles dan Raffles untk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya.
Sebelum berlakunya perundangang-undangan baru di negeri belana, tahun 1836 Scholten van Oud-haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di hindia belanda ia diangkat oleh Gubernur Jenderal De Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru itu di hindia belanda. Namun oleh karena Scholten van Oud-haarlem tahun 1838 ia sakit dan kembali ke Negeri belanda, tahun 1839 dibentuk lagi panitia baru oleh mentri jajahan van den Bosch yang terdiri dari Mr. scholten, Mr.Schneither, dan bekas residen JFW van nes.
Hasil karyanya ialah sebuah rancangan peraturan tata peradilan, sebuah rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, panitia ini di burbarkan atas permintaan mereka sendiri tahun 1845.
Peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk Hindia-Belanda, yaitu sebagai berikut.
Ketentuan umum tentang perundang-undangan (AB).
Peraturan tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan pengadilan (RO).
Kitan Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK).
Ketentuan-ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jayuh pailit dan terbukti tidak mampu, begitu pula dikala diadakan penangguhan pembayaran utang (pasal
Peraturan cara perdata untuk (Hooggerechtshop dan Red van justitie).
Peraturan tata usaha Kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan tata usaha Kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara criminal mengenai golongan bumi putera dan orang-orang yang dipersamakan (pasal 4).
Yang tersebut belakangan ini yang disebut reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtspleging en de starfvordering onders de inlanders en de Oosterlingen of java en Mdoera.

3)      Inlands Reglement Kemudian Herziene Inlands Reglement
Sesuai dengan kalimat terakhir pasal 4 firman raja tersebut reglemen yang di tetapkan oleh gubernur jendral tanggal 3 Desember 1847 itu memerluka pengesahan raja. Reglemn tersebut berisi acara perdata dan acara pidana.
Menurut supomo, Mr. Wichers ini penganjur politik pendesakan hukum adat secara sistematis serta berangsur-angsur oleh huku eropa. Akan tetapi, gubernur jendral tidak menyetujuinya ia berpendapan bahwa perombakan masyarakat jawa berbahaya dan tidak politis selama belum dapat di bentuk masyarakan lain yang tetap sentosa sebagai penggantinya dan yang terakhir ini tidak dapat dikira-kirakan selama orang bumiputera itu tetap beragama islam dan bukan Kristen.
Reglemen tersebut disahkan oleh gubernur jendral,dan diumumkan pada tanggal 5 April 1848, Sbld nomor 16, dan dikuatkan dengan firman raja tanggal 29 September 1849 nomor 93, diumumkan dalam Sbld 1849 nomor 63. Reglemen tersebut beberapa kali diubah dan diumumkan dengan Sbld 1926 nomor 559 jo.496. sesudah tahun 1926 masih diadakan perubahan, yang terpenting ialah yang diumukan dengan Sbld 1941 nomor 32  jo.98.
Akhirnya dengan Sbld 1941 nomor 44 diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu di bentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum,yang dahulu di tempatkan dibawah pamongpraja, pembentukan badan penuntut umum menurut Subekti, adalah hadiah dari pemerintah belanda untuk orang bumiputera berhubung dengan keguncangan (perang dunia II yang baru pecah) di negeri belanda. Seperti perang dunia I pemerintah belanda memberikan kodifikasi dan unifikasi KUHP (WvS 1918).
Walaupun dikatakan bahwa telah di bentuk badan penuntu umum yang berdiri sendiri dalam praktiknya, IR masih berlaku di samping HIR di Jawa dan Madura. IR (HIR) sebagai percobaan di Jawa dan Madura direncanakan diberlakukan juga diluar Jawa dan Madura. Untuk bagian-bagian Irian Selatan dan di Gul atas peraturan acara Sbld 1908 noor 234 mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 1908.
Untuk golongan eropa berlaku Reglement op de Strafvordering dan Reglement op the Burgerlijke rechtsvordering (Reglemen Hukum Acara Pidana dan ReglemenHukum Acara Perdata).
Untuk golongan bumiputeramasih ada Landgerechtsreglement Sbld 1941 nomor 137 sebagai hukum acara untuk pengadilan semua golongan penduduk yang memutus perkara perkara kecil. Selain itu ada pengadilan seperti districtsgrecht, regentschapsgerecht, dan luar jawa dan Madura terdapat magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata kecil.
 pengadilan yang tertinggi. Meliputi seluruh hindia belanda, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya di sebut arrest. Tugasnya diatur dalam pasal 158 indische Staatsregeling dan RO.

4)      Hukum Acara Pidana Zaman Pendudukan Jepang
Pada zaman pendudukan jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa Dengan undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 maret 1942, dkeluarkan aturan peralihan di jawa dan Madura.begitu pula diluar jawa dan maduran dikeluarkan pula peraturan yang senada.
Dengan demikian acara pidana pada umunya tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechts reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
Pada tiap acam pengadilan itu ada kejaksaan, yaitu Saiko Kenskatsu Kyoku pada pengadilan Agung, Kootoo Kenskatsu Kyoku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kenskatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.
Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 7 agustus 1945, keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang berlaku tanggal 18 agustus 1945, aturan peraliha tersebut juga diperkuat dengan peraturan presiden tanggal 10 oktober 1945 yang disebit peraturan nomor 2.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana susunan pengadilan pada masa pendudukan jepang masih tetap berkelanjutan pada masa republic, kecualintentu karena keadaan memaksa maka dibentuk Mahkamah Agung di Yogyatakarta seta pemindahan Pengadilan Tinggi di Sumatera dan Jawa.
Setelah dibentuk Negara-negara bagian, maka Negara-negara bagian itu memebentuk pengadilansendiri-sendiri. Di Negara Indonesia timur, di Negara Pasundan, dan Negara Sumatra Timur dibentuk Pengadilan Negara sebagai hakim sehari-hari untuk segala golongan penduduk. Kemudian, suatu pengadilan Tinggi di Pasundan, Mahkamah Yutisi di Makasar, dan Mahkamah Negara di Sumatra Timur yang rupanya tidak pernah lahir itu.
Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta menggantikan Hooggerechtshof di jakrta dan Mahkamah Agung di Yogyakarta dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 27, Landrechter (gaya baru) di Jakarta diganti menjadi Pengadilan Negeri, dan appelraad di Jakarta diubah menjadi Pengadilan Tinggi.

5)      Hukum Acara Pidana Menurut UU No. 1 Tahun 1951
Dengan undang-undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan univikasi hukum acara pidana dan susunan pengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut pasal 1 undang-undang tersebut dihapus,yaitu sebagai berikut.
1.      Mahkamah yustisi di Makassar alat penuntut umum padanya.
2.      Appelraad di Makassar.
3.      Appelraad di Medan.
4.      Segala pengadilan Negara dan segala landgrecht (cara baru) dan alat penuntut umum padanya.
5.      Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya.
6.      Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
7.      Segala pengdilan kabupaten.
8.      Segala raad distrik.
9.      Segala pengadilan negorij.
10.  Pengadilan swapraja.
11.  Pengadilan adat.
Namun demikian, hakim perdamain desa yang berdasar atas pasal 3a RO itu aish diakui. Haki perdamaian desa ini juga dihapuskan oleh Undang-undang no 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehakiman karena  KUHAP menghapus HIR dan undang-undang No 1 (drt) 1951 tersebut dimana diacntumkan hak hidup hakim perdamaian desa tersebut, maka yang menjadi masalah apakah dengan berlakunya KUHAP hakim perdamaian desa itu masih diperkenankan.
Dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan : “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan meahami nilai-nilai yang hidup dalam mayarakat. Dalam hal ini haki erdamain desa itu justru menjadi slaah satu sumber hukum data yang dapat digali. Dalam pasal 3A RO pada butir 3 dikatakan bahwa hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat (1) mengadili perkara menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhkan pidana.
Kemudian, dalam pasal 6 undang-undang nomor 1 (drt) Tahun 1951 ditetapkan bahwa acara pidana sipil untuk segala pengadilan negeri dalam alat penuntut umum padanya, segala pengadilan tinggi seberapa mungkin HIR diambil sebagai pedoman.
Sedangkan acara perkara ringan (roh) berlaku landsgerechts reglement Sbld 1914 Nomor 317 jo. Sbld 1917 Nomor 323. Acara untuk banding diatur dalam pasal 7 sampai pasal 20 Undang-undang (darurat) tersebut.

6)      Lahirnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Selaku undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama didambakan semua orang. Dikehendaki suatu hukum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang selaras dengan pancasila.
Sebagaimana dikemukakan diatas pembentukan IR kemudian menjadi HIR itu tidak terlepas pula dari pada usaha belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari kekuasaan perancis. IR yang lahir pada tanggal 1 Mei 1848 itu merupakan penerusan dari paket perundang-undangan belanda tahun 1838. Berdasarkan asas konkordansi, maka paket perundang-undangan baru itu hendak diberlakukan pula di Indonesia.
Demikianlah, sehingga sejak Oemar Seno Adji menjabat mentri kehakiman, telah dirintis jalan menuju kepada terciptanya perundang-undangan baru tentang hukum acara pidana. Pada waktu itu dibentuk suatu panitia di departemen kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang-undang hukum acara pidana. Panitia tersebut berhasil menyusun Rencana Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada thun 1974, dilakukan penyempurnaan dan rencana tersebut dilimpahkan kepada Sekertariat Negara yang kemudian dibahas oleh 4 instansi.Dalam rangka penyempurnaan rancangan ini, telah didengar pula beberapa pendapat ahli-ahli hukum.
Akhirnya Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepada DPR untuk di bahas dengan amanat presiden pada tanggal 12 September 1979 nomor R.08/P.U/IX/1979. Badan musyawarah DPR memutuskan bahwa pembicaraan selanjutnya rangcangan itu dilanjutkan oleh Gabungan Komisi III dan Komisi I DPR. Rupanya pembahasan tersebut yang disimpulkan dalam 13 pokok masalah yang telah disepakati bersama untuk ditungkan dalam materi undang-undang.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaraan Tim Sinkronisasi dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian di kenal dengan pasal 284. Pasal 284 ayat (2) menjanjikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap hukum acara pidana khusus.
Akan tetapi, kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda-tanda adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP nomor 27 tahun 1983 telah ditegaskan oleh pemerintah bahwa penyidikan detik-detik dalam perundang-undangan pidana khusus tersebut dilakukan oleh berikut ini.
a.       Penyidik
b.      Jaksa
c.       Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan  (pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983)
Rancangan undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR pada tangggal 23 september 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209).











[1] Andi Hamzah.Hukum Acara Pidana Indonesia. hlm. 2.
[2] G. Duisterwinkel en. A.L. Melai ed. Het Weitboek van Strafvordering. Hlm. 4.
[3] Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. hlm. 13.
[4] D. Simons, Beknople iot het Weitboek van Strafvordering, hlm. 1.
[5] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. hlm. 160
[6] Kitab Undang-Undang Pidana. Diterjemahkan oleh Muljatno. Cet. 22. (Jakarta:Bumi Aksara, 2003). Psl. 11.
[7] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. hlm. 9
[8] A. Zainal Abidin. Sejarah Perkembangan Masalah Oppertunitas di Indonesia. Prasarana Seminar Ujung Pandang, 1981. Hlm. 12.
[9] Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Hlm. 151.
[10] Tresna. Peradilan di Indonesia. Cet. 3. (Jakarta Pradnya Paramita,1978) hlm. 156.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar