Sabtu, 03 Maret 2012

Pendidikan yang Sesungguhnya


Courtesy of a friend that could not be named

Pendidikan Sebenarnya
By Prof  Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
 Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di amerika serikat . masalahnya karangan berbahasa inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (Excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang ditulis sehari  sebelumnya itu pernah ditujukan kepada saya dan saya dan saya mencemaskan kepada kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya  dan bukan diberi nilai buruk malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat  “ maaf bapak dari mana?
“Ðari Indonesia” jawab saya
Dia pun tersenyum
BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“saya mengerti, “jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “beberapa kali saya bertemu bapak-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya di didik disini , “lanjutnya. “ di negeri anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik disini bukan untuk menghukum , melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! “diapun melanjutkan argumentasinya.
“ saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu , baru tiba dari negara  negara yang bahasa ibunya bukan bahasa inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat, “ujarnya menunjuk karangan berbahasa inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga kita tidak dapat mengukir prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang  “A” . dari program master hingga doctor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan study jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam, saat ujian program doctor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membatu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan dengan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ketanah air, banyak hal sebaliknya yang saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut menelan mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Etika seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung dan menyebarkan berita tidak sedap seakan akan kebaikan itu ada udang di balik batuny. Saya sempat ,mengalami prustasi yang sangat luar biasa menyaksikan bagaiman para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnyapun bisa diduga, kelulusanpun rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak disana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, karena mereka mempunyai guru yang pintar secara akademis, dan karakternya sangat kuat:karakter yang membangun bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya diatas. Ibu guru mengingatkan saya . “ janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan. “ ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya  mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras seperti berikut : “ sarah telah memulainya dengan  berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun sarah telah menunjukan kemajuan yang berarti “.
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan saya mengecup keningnya, saya ingin memeluknya ditengah-tengah rasa salah telah memberi penilain yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna) tetapi saya mengatakan  “ gurunya salah” kini saya melihatnya dengan kaca mata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptkan hambatan dan rasa takut? Bukan mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok dst.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…:Kalau…:Nanti…… dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun dilain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu, otak ternyata menunjuka otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut(mengecil) atau sebaliknya , dapat tumbuh.
Semua itu tergantung dari ancaman atau dukungan  (dorongan) yang didapt dari orang-orang disekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun . seperti yang sering saya katakan ada orang pintar da nada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju bukan dengan menghina atau memberi ancaman menakut-nakuti     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar